Penulis: Ismail Suardi Wekke, Direktur Ahmad Amiruddin Fellowship
Mangkoso, SULSELNEWS.id – Sebuah lingkungan yang kemudian mendunia dengan akar kuat yang menapak di Sulawesi Selatan (Sulsel). Telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan budaya masyarakat Sulsel. Lebih dari sekadar aktivitas pendidikan, Mangkoso merupakan sebuah sistem sosial dan budaya yang kompleks dengan peran sentral dalam membentuk dinamika kehidupan masyarakat. Dalam istilah milad yang dilaksanakan sejak tahun lalu, disebut Semesta DDI.
Ahad, 15 Juli 2024 bertempat di Bulu Lampang menandai penamatan santri ke-82. Tak kurang dari 1300 orang ditamatkan dengan jenjang terendah Raudhatul Athfal sampai ke Ma’had Aly. Tidak saja dihadiri oleh masyarakat dari orang tua yang bersukacita atas penamatan putra atau putrinya. Tetapi juga hadir dua rektor dari Malaysia (Kolej Insaniyah) dan juga Mesir (Universitas Al Azhar).
Mangkoso memiliki sejarah panjang yang terjalin erat dengan kedua perguruan tinggi itu.
Bahkan Bupati Barru dengan setia selalu menjadi bagian tak terpisahkan dalam pelbagai kesempatan. Sepertinya, kehadiran Bupati menegaskan bagaimana Mangkoso yang menyertakan nama Barru sebagai kabupatennya merupakan pasangan tersendiri.
Sehingga dalam setiap momen, Bupati Barru menjadi bagian dalam perhelatan aktivitas di Mangkoso.
Mangkoso pada dasarnya adalah sebuah sistem pendidikan kolektif yang kemudian menjadi bagian dalam terbentuknya Darul Dakwah Wal Irsyad (DDI).
Diantaranya, 12 perguruan tinggi. Begitu pula sekolah/madrasah. Sepanjang perjalanan di Sulsel (bahkan menjangkau provinsi lain, di barat sampai ke Pulau Kijang di Sumatera, dan di timur sampai ke Jayapura di Papua), lembaga-lembaga itu menghiasi pandangan mata kita sejak berangkat dari Makassar sampai tiba kembali di Makassar. Entah melalui jalur Maros-Pangkep ataupun melalui Gowa-Takalar.
Kerja sama dan gotong royong menjadi nilai-nilai fundamental dalam Mangkoso. Para pengurus DDI dan alumninya saling bahu membahu dalam berbagai pekerjaan, mulai dari mendirikan sekolah/madrasah hingga menjaga kelangsungan dan kemudian mewariskannya kepada generasi selanjutnya.
Keuletan, kegigihan, dan kecerdasan juga menjadi ciri khas para pengurus Mangkoso.
Mangkoso telah, tetap, dan akan terus memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Mangkoso merupakan sumber pendapatan utama bagi banyak pedagang di sekitar lokasi sekolah/madrasah.
Bahkan penulis menikmati ayam geprek di samping ma’had aly. Pedagang dari pulau Jawa datang merantau dan membuka usaha di sisi jalan utama kampus I Mangkoso.
Nama inilah yang kemudian menjadi icon. Sekalipun kampusnya kemudian sudah bertambah sampai ke Tonronge, dan juga Bulu Lampang, tetap saja Mangkoso yang menjadi nama yang disukai untuk disebutkan.
Begitu pula, Mangkoso memperkuat rasa solidaritas dan gotong royong antar anggota masyarakat. Warga saling membantu dan berbagi hasil usaha mereka kemudian mewakafkannya ke pesantren, menciptakan rasa persaudaraan yang erat.
Mangkoso telah berkontribusi dalam sejarah panjang Sulawesi Selatan, dengan peran penting dalam perekonomian, penyebaran Islam, dan perkembangan sekolah-sekolah di pelbagai daerah kabupaten/kota.
Meskipun Mangkoso tetap lestari hingga saat ini, kelangsungannya ini menghadapi berbagai tantangan, seperti modernisasi pesantren, dan juga kewujudan media teknologi informasi.
Upaya pengembangan Mangkoso telah dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini dapat terlihat dengan penggunaan aplikasi IT dan juga membangun sistem ekonomi dalam menunjang aktivitas pendidikan.
Mangkoso merupakan warisan budaya pendidikan yang tak ternilai bagi Sulawesi Selatan. Melestarikan dan mengembangkan tradisi ini adalah tanggung jawab bersama untuk memastikan keberlanjutannya di masa depan.
Mangkoso lebih dari sekadar lembaga pendidikan. Ini adalah cerminan identitas, budaya, dan nilai-nilai masyarakat Sulawesi Selatan.