Penulis: Ismail Suardi Wekke, Ahmad Amiruddin Fellowship
SULSELNEWS.id – Tema ini sekilas sebuah hal yang bombastis. Sebagaimana pidato pejabat yang kemudian jadi sebuah jargon.
Namun teknisnya bahwa ini sebuah konsep yang justru sederhana. Mari kita lihat program Thailand, dengan nama “satu desa satu produk”.
Jika kita berkunjung ke minimarket di SPBU Thailand, termasuk bagian selatan, kita bisa melihat produk-produk dari desa. Dengan kemasan yang menarik. Olahan sederhana yang bahkan bisa menjadi cemilan.
Begitu pula tersedia di bandara. Dijajakan dengan harga yang berada di bawah sepuluh ribu. Sehingga bisa dibeli oleh pengunjung.
Satu desa satu produk, sejalan dengan apa yang diperkenalkan oleh Ahmad Amiruddin ketika memimpin Sulsel dengan frase Petik-Olah-Jual. Sebuah hasil panen, tidak langsung dijual. Melainkan perlu diolah sehingga memiliki nilai tambah tersendiri.
Kita menyaksikan sepanjang Maros-Bone, ada warung, rumah makan, dan tempat peristirahatan. Salah satu produk yang dijajakan adalah langkose (kacang).
Ini merupakan produk olahan yang sangat sederhana, dan harganya tentu saja lebih mahal kacang langkose berbanding dengan menjualnya dalam bentuk kacang tanah saja.
Begitu pula, di poros Pangkep-Barru. Paling tidak kita saksikan dua hal yaitu dange, dan sekitar Mangkoso tersedia jagung rebus.
Alih-alih dijual dalam bentuk tepung tapioka, dan juga jagung usai panen. Tetapi mendapatkan olahan yang tidak rumit, dan kemudian dijual.
Dalam posisi ini sudah sangat bagus. Hanya saja inovasi tidak berhenti yang dapat dilakukan oleh gubernur mendatang.
Ada peluang pengembangan yang dapat menjadi daya tarik sehingga musafir semakin tertarik untuk mampir dan menikmati hidangan yang dijajakan.
Seperti soal kebersihan, juga sanitasi dan kebersihan bagi para pelanggan. Jikalau para pedagang itu diberi insentif bantuan untuk perbaikan kios, sehingga bisa seragam dalam soal kebersihan dan standar higenitas.
Satu hal lagi yaitu dalam kaitan dengan kemasan. Sehingga bisa menjadikan jajanan itu untuk dibawa sebagai oleh-oleh untuk pulang ke rumah atau menjadi buah tangan untuk tetangga.
Tentu saja, tidak perlu kita melihat Thailand. Cukup melihat ke Medan. Dimana Bika Ambon yang dijajakan di kota Medan, menjadi “eskpor” tersendiri.
Ada diantara pelancong yang menyatakan kalau tidak membawa Bika Ambon dari Medan saat pulang dari berkunjung di Sumatera Utara, rasa-rasanya tidak sah.
Eskpor dalam bentuk buah tangan tadi, menjadi sebuah penjualan yang wujud diantaranya ditopang oleh kemasan.
Sebagaimana pempek Palembang yang juga menyediakan kemasan yang bersih, dan ramping. Ini menjadi daya tarik tersendiri. Di samping soal nikmatnya kuliner tersebut. Sehingga pempek Palembang, walaupun di masa-masa pandemi covid-19, justru tetap saja dipesan daring sampai lintas provinsi.
Kondisi dimana roti maros, ataupun hidangan kuliner Makassar lainnya yang dari rasa selalu meninggalkan kesan tersendiri bagi penikmatnya tetapi tidak ada fasilitas kemasan yang memadai.
Namun, ada juga diantara produk Sulsel yang menjadi incaran banyak orang dan memilik pasar tersendiri. Seperti markisa, dan juga sirup DHT. keduanya bisa dipesan menggunakan market place sehingga pengiriman melintas sempadan provinsi.
Apalagi jika menjelang puasa ramadan, dimana kelengkapan meja makan saat berbuka diantaranya adalah sirup DHT. Sementara markisa menjadi pelengkap bagi kesempatan silaturahmi di masa-masa idul fitri.
Satu hal lagi, keberadaan warung baik di sepanjang Maros-Bone, atau Pangkep-Barru tadi, perlu dilengkapi dengan sinergi antara angkutan umum dengan pengelola warung.
Sebagai contoh, jika penulis perlu makan gogos dan telur asin dari Camba. Maka, perlu ada layanan pemesan dan bisa tiba dalam waktu kurang dari tiga jam. Pembeli dapat memesan melalui market place, dan pengiriman bisa melalui mobil angkutan yang tersedia setiap saat.
Sepertinya tidak harus ada organisasi tersendiri yang mengorganisir pemilik warung dan sopir angkutan. Ini bisa disinergikan melalui layanan Go Food, atau Grab, dan semacamnya.
Teknologi bertambah, maka perlu ikhtiar juga untuk mengaplikasikannya sehingga menjadi nilai tambah bagi warga. Ujung-ujungnya harapan kita adalah wujudnya kesejahteraan.
Maka, keberadaan kota dengan segala atribut pejabat yang ada di dalamnya, perlu bersama-sama memikirkan kampung, dan bagaimana kita berdaulat dalam urusan meja makan.