Opini  

Nuzulul Quran, Melihat Kembali Tafsir Berbahasa Bugis

Penulis: Ismail Suardi Wekke (Ahmad Amiruddin Fellowship)

Ketika Sulawesi Selatan dipimpin Ahmad Amiruddin Pabittei, dengan pendanaan dari pemerintah provinsi Sulawesi Selatan, disusunlah tafsir berbahasa Bugis. Lembaga yang diminta menyusun ini, Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Selatan.

Saat itu dipimpin AGH Muin Yusuf, pimpinan pondok Sidenreng Rappang. Kerap pula disebut Kali Sidendreng. Dengan tim antara lain perwakilan setiap organisasi keagamaan. Dari DDI ada AGH Syamsul Bahri Galigo, sekarang ini Ketua Umum PB DDI dalam dua periode kepengurusan terakhir.

Juga ada AGH Ma’mur Ali dari Muhammadiyah. Begitu pula turut serta Hamzah Manguluang dari As’adiyah. Dalam tim termasuk pula AGH Mukhtar Badawi (kerapjuga disapa Annangguru) yang mewakili geokultural Polewali, ketika itu masih berada dalam administrasi Sulawesi Selatan.

Begitu juga turut membantu dalam kaitan teknis diantaranya AGH Prof. Dr. Farid Wajdi, MA., AGH. Wahab Zakariya, MA., AGH Prof. Dr. Abd. Rahim Arsyad MA., AGH M. Harisah HS. Nama-nama di atas dituliskan sesuai dengan capaian pendidikan saat artikel ini ditulis. Seperti AGH Prof. Farid, saat itu baru saja pulang dari Mesir.
Disusun bersama ulama Bugis selama delapan tahun. Dimulai pada 1988, dan selesai 1996 di Ujung Pandang. Semangat persatuan ulama Sulawesi Selatan sehingga memungkinkan penulisan ini berjalan lancer.

Sekalipun AGH Muin di Sidrap, beliau tetap dapat memimpin sampai diterbitkannya tafsir yang tertulis dalam aksara lontara. Awalnya sebanyak 10 jilid. Ketika diterbitkan ulang menjadi 11 dengan pemisahan 1 jilid yang dilihat terlalu tebal. Sehingga untuk keselrasan tebal setiap jilid dijadikan 11 jilid.

Dalam kaitan dengan aksara, ini pulalah yang menjelaskan sehingga tidak banyak orang yang bisa mengaksesnya. Sebab ada saja diantara kita yang masih fasih berbahasa Bugis, namun dalam urusan tulis menulis dan membacanya tidak mahir lagi.

Tafsir ini kemudian menjadi semacam barang antik. Tidak banyak yang dapat membacanya. Diantara yang sedikit itu, ada Prof. Muhammad Yusuf. Ketika itu beliau menyelesaikan pendidikan doktoral di UIN Alauddin Makassar. Dalam penyusunan disertasi, kajian beliau terkait dengan ini. Penelitian yang juga diselesaikan untuk pendidikan strata tiga oleh Mursalim dengan kajian yang sama dalam perspektif yang berbeda.

Dengan penelitian dalam kerangka dua disertasi tersebut menjadi diantara yang mengawali dan mengenalkan kembali tafsir tersebut. Kemudian kita sudah bisa mendapatkan ulasan dalam pelbagai karya ilmiah, diantaranya Teguh Arafah (2016), M. Mufid Syakhlani (2018), Teguh Arafah (2018), Ahmad Ramzy Amiruddin (2019) Anshar & Haddade (2020), Akhmad Bazith (2020), Ahmad Ramzy Amiruddin (2021), Muhammad Alwi HS (2021), dan Aswar Rifa’in (2023).

Tentu saja karya terkait dengan tafsir berbahasa Bugis, tidak itu saja. Ada karya-karya lain yang berada di luar penelusuran singkat dalam kaitan penulisan artikel ini. Namun setidaknya, dapat ditunjukkan bahwa dengan apa yang telah dimulai Prof. Yusuf, dan Dr. Mursalim menjadi sebuah langkah mengenalkan keberadaan tafsir berbahasa Bugis.

Masa Depan Bahasa Bugis dan Kajian Tafsir

UNESCO (2021) menggolongkan bahasa Bugis sebagai bahasa yang terancam punah. Sinyal yang disampaikan UNESCO ini perlu dimitigasi semaksimal mungkin. Dimana, salah satu metode yang dapat dilakukan dengan melaksanakan tindakan interdisipliner.

Belajar bahasa Bugis saja, tentu tidak dapat menjadi alasan. Hanya saja jikalau belajar bahasa Bugis, sekaligus dipadukan dengan belajar agama, maka akan menjadi sebuah tawaran yang menguntungkan. Kesempatan untuk menggali dan melestarikan nilai-nilai kebugisan. Pada saat yang sama memenuhi tuntutan individual terkait pemahaman keagamaan.

Tidak saja satu tafsir yang terlahir dari ulama Bugis sebagaimana yang diterbitkan MUI. Melainkan juga ada kitab lainnya yang disusun AGH. Daud Ismail yang diberi judul al-Munir. Sehingga khazanah untuk menekuni bagaimana pemahaman keagamaan yang selaras dengan weltanschauung kebugisan senantiasa dapat dipelihara.

Begitu pula, ada AGH Hamzah Manguluang yang belajar langsung ke AGH Muhammad As’ad, telah menerbitkan buku yang berjudul “Tarjumah al-Qur’an al-Karim: Tarejumanna Akorang Malebbie Mabbicara Ogi”.

Dengan ragam buku-buku ini, telah menjadi khazanah tersendiri bagi studi keagamaan dan juga kebugisan. Sehingga, tugas kita melestarikan tradisi keilmuan. Sekaligus ikhtiar untuk menjaga agar bahasa Bugis tetap menjadi bahasa yang dituturkan, dan juga merupakan bahasa ilmu pengetahuan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *