Opini  

Sulsel dan Tantangan Tranformasi Pendidikan Menuju Sekolah Unggul

Penulis: Ismail Suardi Wekke, Direktur Ahmad Amiruddin Fellowship

SULSELNEWS.id – Bukan dengan hari jadi Sulsel, sehingga artikel ini diketikkan. Melainkan Hari Pendidikan yang kita peringati saat ini, 2 Mei 2024. Dimana, sejak Kabinet Indoneia Maju, program Kemendikbudristek bertumpu pada Merdeka Belajar.

Jika dilihat hakikatnya, maka Merdeka belajar di Kampus Merdeka, termasuk pemberlakuan Kurikulum Merdeka sejatinya adalah transformasi pendidikan. Begitu pula dengan adanya akselerasi pendidikan antar komponen yang selama ini tidak terkoneksi antara satu sama lain.

Jikalau di masa kepemimpinan Wardiman Djojonegoro (1993-1998) memprogramkan link and match, esensinya adalah mempertemukan antara dunia pendidikan dan industri yang kita kenal sekarang ini program kolaborasi mengajar antara perguruan tinggi dan DUDI (Dunia Usaha Dunia Industri).

Sekalipun dengan nama yang berbeda, sudah ada pondasi kebijakan dan aktivitas yang dijalankan sebelumnya. Sehingga memudahkan untuk melaksanakan percepatan dalam lima tahun terakhir.

Persoalan yang kita hadapi adalah mentalitas culas. Dimana perilaku ini kemudian menjadi bagian dalam aktivitas pendidikan, termasuk kelaziman dalam menyontek. Sebagai contoh wujudnya Merdeka Belajar memberikan kesempatan untuk magang. Namun, masalah yang kemudian dihadapi dalam sebuah kasus adalah aktivitas magang yang dijadikan oleh individual tertentu untuk memperkaya diri sendiri dan bahkan mengarah pada tindak pidana perdagangan orang.

Ini yang dapat menjadikan citra Merdeka Belajar sebagai sebuah program yang tidak diterima secara luas.

Dalam konteks Sulawesi Selatan, kita bisa lihat sekolah menengah berasrama. Seperti SMA Negeri 5 Gowa yang dikenal juga dengan SMA Tinggimoncong (sejak 1994). Dimana berawal dari Yayasan Pendidikan Latimojong melihat bahwa ada kualitas pendidikan yang tidak merata.

Siswa SMA di Sulawesi Selatan perlu diberikan kesempatan lebih banyak untuk mengeyam pendidikan pada perguruan tinggi di Pulau Jawa. Hanya saja, dengan kemampuan yang ada saat itu tidak mendapatkan proses belajar yang memadai. Sehingga jumlah kelulusan di PT Pulau Jawa sangat minim.

Sehingga dikumpulkan lah siswa-siswi terbaik dari sekolah menengah pertama se-Sulsel dan kemudian pada perkembangannya sekolah ini menjadi lembaga pendidikan unggulan. Pemerintahan berganti dan nama program pun juga beralih nama, namun sekolah ini tetap saja dijalankan dengan keunggulannya tersendiri.

Sebelum itu, 1992 Yayasan Pendidikan Latimojong memprakarsai pendirian sekolah yang kita sebut saat ini, SMA 17 Makassar. Keberadaannya juga diawali dengan semangat sekolah unggulan.

Arika (2022) menjelaskan bahwa Yayasan Pendidikan Latimojong dalam masa-masa keemasannya 1983-1997 merupakan prakarsa tokoh pendidikan Sulsel yang melihat bahwa dalam sejarah pembangunan sekolah menengah dalam pemerintahan gubernur Andi Pangerang Petta Rani, tidak dapat dilepaskan dari dukungan masyarakat.

Bahkan sekolah menengah itu didukung dan dikerjakan bersama antara pemerintah dan masyarakat. Olehnya, keberadaan Yayasan Pendidikan Latimojong ini dalam kaitan memberikan dukungan dan implementasi program pengembangan sumber daya manusia.

Selain soal perhatian pada sekolah, juga mengalokasikan beasiswa bagi mahasiswa asal Sulsel yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi Pulau Jawa.

Semangat Yayasan Pendidikan Latimojong terus berkembang. Selain dua sekolah yang diprakarsai tadi, kini untuk SMA negeri berbasis asrama terdapat tujuh yaitu SMAN 17 Makassar, SMAN 11 Pangkep, SMAN 13 Pangkep, SMAN 5 Parepare, SMAN 5 Gowa, SMAN 6 Barru, dan SMAN 11 Pinrang.

Jikalau hari ini, di samping mendapati nama-nama sekolah unggul selain sekolah unggulan negeri, juga sudah ada sekolah swasta, seperti SMA Islam Athirah. Bahkan dengan nama madrasah sekalipun, Madrasah Arifah Gowa, bahkan dengan status madrasah riset berbasis digital.

Itu merupakan buah dari partisipasi dan prakarsa masyarakat. Dimana buah yang berawal dari keinginan masyarakat Sulsel untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya kelak, perlahan mulai terwujud. Pelbagai pilihan tersedia, dan tidak lagi hanya dengan mengirimkan mereka untuk belajar ke pulau Jawa.

Pada masa tertentu, sekolah unggulan di Sulsel sangatlah terbatas. Kita menyaksikan seperti SMA Katolik Rajawali yang merupakan pemisahan dari SMA Katolik Cendrawasih. Beberapa tokoh nasional diantaranya Abraham Samad (alumni 1983).

Dengan adanya sekolah-sekolah unggulan ini dan seiring dengan Merdeka Belajar, maka menjadi tantangan bagi kita untuk kemudian tidak puas dengan apa yang ada sekarang. Bentangan wilayah Sulawesi Selatan, dari Bulukumba sampai ke Toraja, dari Losari sampai ke Mangkutana.

Semua bentangan wilayah itu memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Sehingga saatnya, di Hari Pendidikan, kita tidak saja menggerakkan sebuah program Sulsel Berani Cerdas untuk kalangan perguruan tinggi, tetapi sama pentingnya untuk sekolah unggulan di seantero wilayah Sulsel.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *